Militer di negara-negara terkemuka serta industri persenjataan multinasional, kini menginvestasikan dana milyaran Dollar dalam pengembangan sistem dan strategi baru, dalam apa yang disebut sebagai serangan dan pertahanan digital. Serangan dengan melakukan pencurian data militer juga semakin gencar dilancarkan berbagai pihak. Misalnya saja markas besar militer AS, Pentagon, belum lama ini melaporkan serangan hacker yang sekali pukul berhasil mencuri 24.000 dokumen rahasia AS.
Amerika Serikat, negara adidaya militer satu-satunya yang tersisa dari zaman perang dingin, menimbang ancaman perang digital, kini juga mengembangkan secara intensif strategi perang cyber itu. Buktinya adalah pencurian dokumen rahasia AS. Menurut Wakil Mentri Pertahanan AS Sebagian data yang dicuri tidak penting, hanya spesifikasi bagian kecil panser, pesawat terbang dan kapal selam. Tapi sebagian besar adalah data amat sensitif dari sistem kami.” Kementrian pertahanan AS menduga, pemerintahan asing berada di balik serangan hacker tsb.
Serangan cyber amat efektif Seefektif apa dan bagaimana akurasi senjata Cyber dalam menyerang sasarannya, dibuktikan oleh serangan worm “Stuxnet” pada tahun lalu. Stuxnet sukses menyabot instalasi pemerkaya Uranium Natanz milik Iran. Akan tetapi perangkat pengendali elektronik yang dimanipulasi oleh worm Stuxnet itu, bukan hanya dipasang di Iran, melainkan juga di banyak industri di berbagai negara. Bagi pakar keamanan IT dari Finlandia, Mikko Hypponen serangan terhadap sistem pengendali elektronik menunjukkan kualitas risiko baru. Seefektif apa dan bagaimana akurasi senjata Cyber dalam menyerang sasarannya, dibuktikan oleh serangan worm “Stuxnet” pada tahun lalu. Stuxnet sukses menyabot instalasi pemerkaya Uranium Natanz milik Iran. Akan tetapi perangkat pengendali elektronik yang dimanipulasi oleh worm Stuxnet itu, bukan hanya dipasang di Iran, melainkan juga di banyak industri di berbagai negara. Bagi pakar keamanan IT dari Finlandia, Mikko Hypponen serangan terhadap sistem pengendali elektronik menunjukkan kualitas risiko baru.
Jika Stuxnet dapat menginfeksi seperti itu, berarti ini revolusi besar berkaitan risiko yang mencemaskan. Sebab semua hal dikendalikan sistem semacam itu. Kita memiliki infrastruktur yang kritis. Pabrik, pembangkit listrik, pabrik kimia atau instalasi pengolah makanan, semua dikendalikan lewat komputer,“ tutur pakar keamanan IT Hypponen. Komputer juga mengendalikan sistem persenjataan konvensional militer. Percepatan gerakan di medan pertempuran, memaksa logika militer menerapkan lebih banyak otomatisasi. Pasalnya, manusia terlalu lamban untuk situasi semacam itu. Ancaman bahaya baru Seberapa besar bahayanya, jika perangkat pengendali elektronik mengalami kekacauan, terlihat buktinya dalam insiden yang terjadi Oktober 2007 di Afrika Selatan. Ketika itu, sebuah meriam penangkis serangan udara buatan perusahaan Jerman, Oerlikon lepas kendali dan menembak membabi buta ke kawasan sekitarnya. Akibat insiden ini sembilan serdadu tewas dan 14 luka parah. Dalam kasus ini, penyebabnya adalah kesalahan perangkat lunak yang lazim, bukan manipulasi oleh virus komputer.
Dibukanya dimensi baru dalam konflik bersenjata, dewasa ini mendorong para pakar hukum untuk membuat definisi yang lebih tegas lagi. Saat ini, 15 pakar hukum dari sekitar 12 negara sedang menyusun sebuah buku panduan hukum internasional bagi penerapan perang cyber. Salah seorang pakar hukum dalam tim internasional tsb, serangan cyber dapat dibalas dengan serangan militer konvensional. “Jika sudah mencapai taraf serangan bersenjata, dalam arti setara dengan invasi menggunakan tank atau blokade laut, setara dengan serangan terhadap warga atau serdadu sebuah negara, hukum internasional mengizinkan negara bersangkutan, bereaksi segera, sepihak dan secara militer, untuk mengakhiri ancamannya,“ Namun juga terdapat masalah besar. Dalam perang cyber, jejak serangan dapat dihapus dengan sempurna dan menunjukkan bukti palsu. Nyaris mustahil dapat secara tegas melacak dan menemukan pelaku atau pemrakarsa serangannya.